Jejak-Jejak Pahlawan Karbala, Wahab Bin Abdullah Kalbi
Jejak-Jejak Pahlawan Karbala, Wahab Bin Abdullah Kalbi
Selasa, 2012 Januari 03 09:00
Karbala adalah ajang perjuangan dan pengorbanan bagi para ksatria sejati berjiwa besar yang larut dalam keimanan yang lurus. Mereka teguh memegang kebenaran. Harga diri adalah sifat mulia yang berarti keteguhan yang tak bisa dinodai dan ketegaran yang bertolak belakang dengan kehinaan. Islam menolak segala hal yang membawa kepada kehinaan.
Dalam perspektif gerakan Imam Husein as, pendidikan manusia didasarkan pada kehormatan dan hidup bermartabat insani. Manusia yang dibesarkan dalam lingkungan pendidikan ini akan mengerti dengan baik filosofi dan makna hakiki kehidupan dan kematian. Karenanya, dalam kondisi apapun ia akan tetap memegang teguh kehormatan. Ia lebih memilih mati terhormat daripada hidup terhina. Ketika harga diri sudah tiada, orang akan melakukan apa saja termasuk perbuatan yang paling hina sekalipun. Kehinaan dan kerendahan jiwa manusia adalah pangkal dari segala keburukan. Karena itu jalan terbaik untuk memperbaiki diri dan masyarakat adalah dengan menumbuhkan harga diri dalam jiwa.
Harga diri dan kemuliaan jiwa membawa manusia untuk tidak tunduk kecuali kepada Allah Swt. Seorang yang menjadi hamba Allah sejati akan selalu terbebaskan dari penghambaan selain Allah. Di ayat 8 surat al-Munafiqun, Allah Swt berfirman bahwa kemuliaan hanya milik Allah, Rasul-Nya dan kaum mukminin. Manusia yang punya harga diri tak akan tunduk kepada hawa nafsu dan tidak pula kerdil menghadapi kekuatan semu materi.
Dalam logika Imam Husein dan para sahabatnya, hidup terhina di bawah kuasa kezaliman dan kebatilan adalah kematian yang sesungguhnya, sedangkan mati melawan kezaliman adalah kehidupan yang nyata. Karena itu, Imam Husein tak menilai kematian di jalan perjuangan suci sebagai kehancuran.
Pemuda itu bernama Wahab. Baru beberapa hari ia menikah dengan Haniyah. Wahab hidup bersama ibu dan istrinya. Mereka berasal dari kabilah Bani Kalb yang beragama Kristen. Ketika rombongan Imam Husein as melewati tempat bernama Tsa'labiyah, nampak sebuah kemah kecil dan sederhana di kejauhan sana. Imam Husein bertanya, "Siapa yang mendirikan kemah di tengah padang pasir ini? Mungkinkah dia memerlukan bantuan?"
Beliau segera memacu kudanya menuju kemah itu. Di sana, beliau bertemu dengan wanita tua yang sedang duduk menanti datangnya seseorang. Imam menanyakan kesendirian perempuan itu. Ia menjawab, "Aku sedang menantikan putraku, Wahab. Kami hidup di kemah dan berpindah-pindah tempat. Kemah ini milik anakku. Ia pemuda yang gagah berani dan baru saja menikah. Ia sedang pergi ke tengah gurun bersama istrinya, Haniyah. Tak lama lagi mereka akan kembali."
Imam Husein as bertanya lagi, "Adakah yang bisa saya bantu?"
Wanita tua itu menjawab, "Aku haus. Persediaan air kami sudah habis."
Imam Husein sejenak memerhatikan tempat itu. Beliau menyingkirkan batu-batuan yang ada di sekitar itu. Mendadak mata ibu Wahab menyaksikan sebuah mata air yang jernih di depannya. Imam mengambil air itu dengan sebuah wadah lalu menyerahkannya kepada ibu Wahab yang masih terheran-heran. Setelah meminum air itu, dia bertanya, "Siapakah engkau dan apa yang kau lakukan di gurun ini?"
Imam Husein menjawab, "Aku Husein, cucu Nabi dan anak dari putri utusan Allah. Aku sedang menuju Karbala. Sampaikan salamku kepada anakmu dan katakan kepadanya bahwa putra utusan Allah yang terakhir memintanya untuk ikut menolongku."
Kafilah Imam Husein bergerak meninggalkan tempat itu. Ada perasaan yang aneh di hati ibu Wahab. Pandangan Husein bin Ali dan kemurahan hatinya tak bisa lepas dari pikirannya. Saat Wahab datang, wanita tua itu menceritakan kedatangan Imam Husein dan pesan beliau kepadanya. "Anakku, jika kau mau menyertainya, bawa aku bersamamu," kata sang ibu.
Wahab seakan tak percaya dengan apa yang ia dengar. Ia bertanya, "Ibu, siapakah yang bersamanya?" Ibu Wahab menjawab, "Ia bersama rombongan kecil termasuk anak-anak dan perempuan."
Pemuda itu langsung teringat akan pasukan besar pimpinan Umar bin Saad yang ia lihat di Nukhailah beberapa hari lalu. Ia mendengar bahwa ribuan orang itu sedang bergerak untuk membantai Husein bin Ali. Wahab melihat sumber air yang dengan karamah Imam Husein muncul di dekat kemahnya. Ia sudah sering mendengar kebesaran dan kemuliaan Imam Husein as. Wahab yakin bahwa cucu Nabi itu adalah hujjah Allah di atas bumi. Iapun memutuskan untuk memenuhi panggilan Imam Husein.
Kepada istrinya, Wahab menjelaskan apa yang ia putuskan. Mendengar itu, Haniyah tertegun dan berkata, "Bawa aku bersamamu. Aku tak bisa hidup tanpamu."
Wahab tak kuasa menolak keinginan ibu dan istrinya untuk bersamanya menyertai kafilah Imam Husein. Malam hari, ketiga orang itu bergerak menuju Karbala melalui jalur yang sulit. Mereka akhirnya berhasil menyusul rombongan keluarga Nabi. Melihat pemuda gagah dari kabilah Bani Kalb itu, Imam Husein menyambut dan merangkulnya. Bersama ibu dan istrinya, Wahab menyatakan ikrar memeluk Islam.
Hari Asyura pun tiba. Pertempuran tak seimbang sudah dimulai. Wahab mendatangi kemah ibunya untuk mengucapkan salam perpisahan. Sang ibu berkata, "Anakku! Kau tentunya tahu hak besar ibu atas anaknya. Ibulah yang telah mengalami kesulitan besar saat membesarkan anaknya. Masa mudaku telah kulewatkan untuk mengasuh dan membesarkanmu. Menatapmu memberi ketenangan tersendiri di hatiku."
Air mata menetes dan isakan tangis mengikuti kata-katanya. Haniyah berpikir, ibu Wahab hendak mencegah anaknya bertempur dan mati di medan laga. Sang ibu melanjutkan, "Untuk membalas semua derita yang kualami dalam mengasuhmu aku hanya punya satu permintaan. Aku mohon, supaya kau pergi ke medan tempur dan mengorbankan dirimu untuk Husein."
Wahab bangga mendengar kata-kata itu. "Ibu, inilah yang aku inginkan. Aku akan segera pergi ke medan perang untuk mempersembahkan jiwa dan ragaku," ujarnya.
Haniyah yang sebelumnya hanya menyaksikan percakapan itu ikut menyela. "Aku juga punya satu permintaan," katanya. Haniyah melanjutkan, "Bawa aku menghadap junjunganmu. Aku minta kau berjanji kepadaku di depan beliau."
Ketiganya lalu mendatangi Imam Husein. Kepada sang Imam, Haniyah berkata, "Suamiku berniat terjun ke medan laga. Aku minta ia berjanji di depanmu untuk tidak meninggalkanku di hari kiamat kelak."
Di depan Imam, Wahab mengucapkan janji seperti yang diminta istrinya. Setelah mendapat izin dari Imam Husein, pemuda itupun pergi ke tengah medan. Postur tubuhnya yang tinggi besar dengan lengan yang kokoh dan dada yang bidang membuatnya berbeda dengan kebanyakan orang di padang itu. Wahab menyerbu pasukan musuh. Sabetan pedangnya membuat musuh tercerai berai. Semakin banyak prajurit lawan yang mengepungnya. Kepunganpun kian ketat. Wahab roboh dengan satu tangan yang terpisah dari badannya. Melihat itu Haniyah segera berlari ke arah suaminya dengan berbekal kayu penyangga kemah. Tiba di sana, Wahab sudah kehilangan kaki. Haniyah duduk bersimpuh di sisi suaminya. Tangannya membelai dan membersihkan wajah Wahab dari darah yang membasahinya.
"Suamiku, selamat atasmu karena surga yang telah kau raih. Kau korbankan nyawamu membela orang-orang suci. Ku mohon kepada Allah untuk membawaku bersamamu," kata Haniyah.
Haniyah mengucapkan kata-kata duka menyayat hati yang bahkan mengguncang hati pasukan musuh. Umar bin Saad memerintahkan pasukannya untuk menghentikan senandung duka istri Wahab. Tiba-tiba seorang dari pasukan Syimr datang mengayunkan pedang ke arah tubuh perempuan itu. Haniyah memekik, dan ia pun gugur syahid bersama suaminya.
Beberapa saat setelah itu, pasukan musuh memenggal kepala Wahab dan melemparkannya ke perkemahan Imam Husein. Ibu Wahab mengambil kepala putranya itu lalu mencium keningnya. Semua mata menyaksikan pemandangan itu. Mendadak wanita tua itu bangkit membawa kepala anaknya lalu melemparkannya ke tengah medan sambil berseru, "Kami tak pernah mengambil lagi apa yang sudah kami berikan di jalan Allah."
Ia lalu bergerak ke tengah medan sambil berkata, "Walaupun tua dan lemah tapi selama ada nyawa aku siap membela putra Fatimah."
Imam Husein memerintahkannya untuk kembali ke kemah. Kepadanya Imam berkata, "Semoga Allah membalas budi baikmu dengan pahala yang besar atas pembelaanmu untuk Ahlul Bait Nabi. Tak ada kewajiban bagimu untuk berjihad."
Kata-kata Imam Husein membuat hatinya tenang. Surga merindukan kedatangan Wahab dan istrinya. (IRIB Indonesia)
Post a Comment for "Jejak-Jejak Pahlawan Karbala, Wahab Bin Abdullah Kalbi"